faktor penyebab stunting pada anak

Faktor Terjadinya Stunting

faktor penyebab stunting pada anak

1. Pengertian Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted). (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden, 2017).

Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 juta) anak balita mengalami stunting Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/baduta (bayi dibawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013).

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian, dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalamistunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Kemenkes 2013).

2.Cara Pengukuran Balita Stunting

 Stunting merupakan suatu indikator kependekan dengan menggunakan rumus tinggi badan menurut umur (TB/U) Panjang Badan Menurut Umur (PB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak dilahirkan yang mengakibatkan stunting.

Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi masa lampau, alat mudah dibawa kemana-mana, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun, dapat terjadi kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari tenaga yang kurang terlatih, kesalahan pada alat dan tingkat kesulitan pengukuran. TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik.

Seorang yang tergolong pendek tak sesuai umurnya (PTSU) kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011).

3. Dampak Stunting pada Balita

Laporan UNICEF tahun 2010, beberapa fakta terkait stunting dan  pengaruhnya adalah sebagai berikut :

  1. Anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak, akan terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah dibandingkan anak dengan tinggi badan normal. Anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikankonsekuensi terhadap kesuksesan dalam kehidupannya dimasa yang akandatang. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangananak. Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggupertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalahbayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitiansebagian besar anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berbedadi bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
  2. Pengaruh gizi pada usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. stunting pada usia lima tahun  cenderung menetap  sepanjang hidup, kegagalan  pertumbuhan  usia dini  berlanjut  pada  masa   remaja dan   kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting dan  mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan BBLR.
  3. Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal  saat melahirkan. Akibat lainnya kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan sangat merugikan performance Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-2 tahun) maka tidak dapat berkembang dan kondisi ini sulit untuk dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak terbentuk semenjak masa dalam kandungan sampai usia 2 (dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus berlangsung maka akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan manghambat prestasi belajar serta produktifitas menurun sebesar 20-30%, yang akan mengakibatkan terjadinya loss generation, artinya anak tersebut hidup tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lainnya. Generasi demikian hanya akan menjadi beban masyarakat dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan pemerintah harus mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi akibat warganya mudah sakit (Supariasa, 2001).

4. Faktor-Faktor Terjadinya Stunting

Status gizi pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu: makanan yang dimakan dan keadaan kesehatan. Kualitas dan kuantitas makanan seorang tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik ibu tentang makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan juga berhubungan dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan kesehatan, daya beli keluarga, ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan (Pramuditya SW, 2010).

A. Asupan Zat Gizi

Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan balita ialah akibat kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makanan dan hambatan  mengabsorbsi zat gizi. Zat energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga yang tersedia pada makanan yang mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh tubuh sebagai pembangun yang berfungsi memperbaiki sel-sel tubuh. Kekurangan zat gizi pada disebabkan karena mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif (Irianton A, 2015). Asupan makan yang tidak adekuat merupakan penyebab langsung terjadinya stunting pada balita. Kurangnya asupan energi dan protein menjadi penyebab gagal tumbuh telah banyak diketahui. Kurangnya beberapa mikronutrien juga berpengaruh terhadap terjadinya retardasi pertumbuhan linear. Kekurangan mikronutrien dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber mikronutrien tersebut dalam konsumsi balita sehari-hari serta disebabkan karena bioavailabilitas yang rendah (Mikhail,et al., 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu :

B. Daya Beli Keluarga

Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi (Irianton A, 2015).

Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Aditianti, 2010). Anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi.

C. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhaan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari- hari (Depkes RI, 2015).

Tingkat pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi penambahan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, tetapi juga merupakan bekal atau  sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih baik taraf kesehatannya (Pramudtya SW, 210).

D. Pengetahuan Gizi Ibu

Gizi kurang banyak menimpa balita sehingga golongan ini disebut golongan rawan. Masa peralihan antara saat disapih dan mengikuti pola makan orang dewasa atau bukan anak, merupakan masa rawan karena ibu atau pengasuh mengikuti kebiasaan yang keliru. Penyuluhan gizi dengan bukti-bukti perbaikan gizi pada dapat memperbaiki sikap ibu yang kurang menguntungkan pertumbuhan anak (Rahayu A, 2014).

Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media masa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2007).

Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku di dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah di suatu daerah akan menentukan tingginya angka kurang gizi secara nasional. Pengetahuan orang tua tentang pemenuhan gizi berpengaruh dengan kejadian stunting.

E. Usia Ibu Hamil

Usia  ibu mempunyai hubungan erat dengan berat bayi lahir,  pada usia  ibu yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menghadapi kehamilannya secara sempurna, dan sering terjadi komplikasi-komplikasi. Telah dibuktikan pula bahwa angka kejadian persalinan kurang bulan akan tinggi pada usia dibawah 20 tahun dan kejadian paling rendah pada usia 26–35 tahun, semakin muda usia ibu maka yang dilahirkan akan semakin ringan. Risiko kehamilan akan terjadi pada ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun erat kaitannya dengan terjadinya kanker rahim dan BBLR. Usia ibu yang beresiko akan berpotensi untuk melahirkan bayi BBLR, bayi yang BBLR akan berpotensi untuk menjadi stunting (Depkes RI, 2013).

F. Ibu Hamil dengan KEK (Kurang Energi Kronis)

Kurang energi kronis merupakan keadaan di mana ibu penderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu (Depkes RI 2012). Kekurangan energi kronik dapat terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). Kurang gizi akut disebabkan oleh tidak mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup atau makanan yang baik (dari segi kandungan gizi) untuk satu periode tertentu untuk mendapatkan tambahan kalori dan protein (untuk melawan) muntah dan mencret (muntaber) dan infeksi lainnya. Lingkar Lengan Atas (LILA) sudah digunakan secara umum di Indonesia untuk mengidentifikas ibu hamil risiko Kurang Energi Kronis (KEK).

Menurut Departemen kesehatan batas ibu hamil yang disebut resiko KEK  jika ukuran LILA < 23,5 cm, dalam pedoman Depkes tersebut disebutkan intervensi yang diperlukan untuk WUS atau ibu hamil yang menderita risiko KEK. Sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah gizi, khususnya gizi kurang seperti KEK dan anemia, sehingga mempunyai kecenderungan melahirkan bayi dengan berat badan lahir kurang. Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu, antara lain anemia, perdarahan, mempersulit persalinan sehingga terjadi persalinan lama, prematuritas, perdarahan setelah persalinan, bahkan kematian ibu (Muliarini, 2010). Ibu hamil yang menderita KEK dan anemia berisiko mengalami Intrauterine Growth Retardation (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, dan bayi yang dilahirkan mempunyai BBLR (Depkes RI, 2010). Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada hamil dapat menyebabkan KEK.

G. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Secara individual, BBLR merupakan prediktor penting dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Bila bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badannya kurang dari seharusnya desebut dengan dismatur kurang bulan kecil untuk masa kehamilan. Semakin awal bayi lahir, semakin belum sempurna perkembangan organ organ tubuhnya, dan semakin rendah berat badannya saat lahir dan semakin tinggi risikonya mengalami berbagai komplikasi berbahaya.

Dampak Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sangat erat kaitannya dengan mortalitas janin. Keadaan ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif, kerentanan terhadap penyakit kronis di kemudian hari. Secara individual, BBLR merupakan prediktor penting dalam kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan dengan risiko tinggi pada kematian bayi dan anak (WHO, 2010). Dampak lanjutan dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (growth faltering), penelitian Sirajudin dkk tahun 2011 menyatakan bahwa bayi BBLR memiliki potensi menjadi pendek 3 kali lebih besar dibanding non BBLR, pertumbuhan terganggu, penyebab wasting, dan risiko malnutrisi.

H. ASI Eksklusif

Pemberian ASI secara dini dan ekslusif sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah berbagai penyakit anak, termasuk gangguan lambung dan saluran nafas, terutama asma pada anak-anak. Hal ini disebabkan adanya antibody penting yang ada dalam kolostrum ASI (dalam jumlah yang lebih sedikit), akan melindungi bayi baru lahir dan mencegah timbulnya alergi. Untuk alasan tersebut, semua bayi baru lahir harus mendapatkan kolostrum. Inisiasi menyusu dini dan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama dapat mencegah kematian bayi dan infant yang lebih besar dengan mereduksi risiko penyakit infeksi, hal ini karena (WHO, 2010):

  1. Adanya kolostrum yang merupakan susu pertama yang mengandung sejumlah besar faktor protektif yang memberikan proteksi aktif dan pasif terhadap berbagai jenis pathogen.
  2. ASI esklusif dapat mengeliminasi mikroorganisme pathogen yang yang terkontaminasi melalui air, makanan, atau cairan lainnya. Juga dapat mencegah kerusakan barier imunologi dari kontaminasi atau zat-zat penyebab alergi pada susu formula atau makanan.
  3. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut. Sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi. Selama kurun waktu 4-6 bulan pertama ASI masih mampu memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6 bulan produksi ASI menurun sehingga kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI saja. Peranan makanan tambahan menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi tersebut . Makanan pendamping ASI dapat disiapkan secara khusus untuk bayi atau makanannya sama dengan makanan keluarga, namun teksturnya disesuaikan dengan usia bayi dan kemampuan bayi dalam menerima makanan (Mufida, dkk 2015).

I. Infeksi

Infeksi adalah invasi (masuk ke dalam tubuh) dan multiplikasi (pertumbuhan dan perkembangan) mikroorganisme patogen dibagian tubuh atau jaringan, yang dapat menghasilkan cedera jaringan berikutnya dan kemajuan untuk terbuka penyakit melalui berbagai mekanisme seluler atau beracun (Notoadmojo, 2010). Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi. Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit pertumbuha pada anak.

Daftar Pustaka

  • Mufida, dkk . (2015). Prinsip Dasar MPASI Untuk Bayi Usia 6-24 Bulan. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 4 p.1646-1651 : Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang.
  • Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
  • Pramuditya  SW. 2010. Kaitan Antara  Tingkat  Pendidikan dan   Pengetahuan Gizi Ibu,Serta Pola Asuh dengan Perilaku Keluarga  Sadar Gizi  dan Status   Gizi,  Bogor :  Departemen   Gizi   Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga,Fakultas Pertanian,Institut Pertanian    Bogor
  • Riskesdas. 2013. Penyajian Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan  Kementerian Kesehatan RI. http://www.litbang.depkes.go.id.
  • Suhardjo. 2007. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta. Bumi Aksara
  • Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC.Jakarta.
  • Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta Pusat. Diakses pada http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasan%20Stunting-1.pdf
  • UNICEF. 2007. Progress For Children: A World Fit for Children. New York:UNICEF Division of Communication. Unicef, WHO, World Bank Group.2017. Levels and trends in child malnutrition. Geneva 2011
  • WHO .2010. Global nutrition targets 2025: Stunting policy brief. http://www.popline.org/node/62758

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *